Thursday 27 December 2012

Perkemahan Wirakarya Wilayah Binwil Jatilawang 2012

Wangon, Banyumas – Perkemahan Wirakarya wilayah Binwil Jatilawang 2012 dilaksakan di desa Rawaheng pada tanggal 21-23 Desember 2012. Pada perkemahan ini diikuti oleh 13 sangga dari 7 pangkalan. Dalam perkemahan ini dikelompokkan menjadi 4 jenis kegiatan, diantaranya adalah giat prestasi, giat wawasan, giat bakti dan giat rutin.
Giat prestasi meliputi LCTK, Pin Darem, pidato bahasa inggris, kreasi makanan, estafet halang rintang, dan pentas seni. Giat wawasan meliputi penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan pemadam kebakaran, diskusi T/D, penyuluhan lalu lintas dan dianpinsat. Dalam giat bakti terdapat 2 kegiatan yaitu, baksti sosial pengerasan jalan dan penanaman cikal kelapa di sekitar perkemahan. Sedangkan giat rutin sendiri meliputi upacara pembukaan, upacara penutupan, korve dan pam swakarsa.
Korve merupakan kegiatan menjaga keamanan dan kebersihan selama di home stay. Sedangkan pam swakarsa merupakan kegiatan menjaga keamanan dan ketertiban di malam hari. korve itu tidak seharian tugasnya, melainkan ada penjadwalannya baik pagi, siang dan malam dengan orang yang berbeda. Biasanya yang tugas korve malam juga bertugas sebagai pam swakarsa.
Setiap kegiatannya para peserta terlihat antusias mengikutinya. Setiap pangkalan memiliki sahutannya sendiri. Sehingga dalam perkemahan ini menjadi lebih ramai dan dapat menambah semangat dari setiap pangkalannya. Sesaat sebelum upacara penutupan dilaksanakan, kontingen SAKA Wanabakti Wangon menyerukan beberapa sahutannya.
Dan yang paling ditunggu-tunggu oleh para peserta adalah saat pengumuman juara tiap mata lomba giat ataupun juara umum. Sorak sorai menggema di dalam ruangan ketika MC membacakan juara-juaranya. Juara umum putra di raih oleh SAKA Wanabakti Wangon dan juara umum putri di raih oleh DKR Lumbir. Selamat pada para juara, terus berjuang dan berkarya untuk bangsa. Ikhlas Bakti Bina Bangsa Berbudi Bawa Laksana.

Salam Pramuka!
Satu Pramuka, Satu Suara, Satu Indonesia, NKRI Harga Mati

Friday 9 November 2012

Semua Berawal Disini


Sebuah kisah tentang seorang gadis yang beranjak remaja bernama Manda dengan segala lika-likunya. Mulai dari persahabatan, kegiatan ekstrakulikuler, kisah cinta yang meliputi perjalanannya di tempat yang baru. Akankah Manda berhasil melewati semua masalah di masa remajanya? Apakah persahabatannya akan tetap awet dengan teman-teman barunya?

Manda adalah seorang gadis tomboi yang urakan. Dia berkeinginan untuk berubah dan menghilangkan predikat Miss Lola yang diberikan oleh teman-teman semasa SMP.

Adrian adalah seorang lelaki yang populer di SMA. Dia termasuk lelaki yang supel, tampan dan ramah. Julukan Prince Charmingpun melekat padanya.

Akankah sosok Adrian dapat mengubah kebiasaan Manda yang pelupa?
Ikuti kisah Manda di setiap bagiannya. Don’t miss it !!!

Saturday 3 November 2012

Izinkan Aku Menangis


Musim penghujan telah tiba. Awan mendung menyelimuti kota kecil di Jawa Tengah. Semilir angin menyibakkan jilbabku dan menutupi sebagian jarak pandang. Langkahku semakin cepat karena rintik gerimis mulai membasahi pipiku. Dan benar dugaanku, hujan turun semakin derasnya. Aku berteduh di depan warung. Satu jam sudah aku berteduh disini, namun hujan tak kunjung reda. Di sudut warung, aku merasa ada seseorang yang sedang memperhatikanku. Ketika aku menengok ke arahnya, dia sudah berada di sampingku.
            “Assalamualaikum. Sepertinya aku mengenal kamu?” tanya Dika.
            “Wa’alaikumsalam. O ya? Memangnya pernah kenal dimana ya?” tanya Diandra.
            “Apakah kamu Diandra Mulya? SMA Bina Bangsa?”
            “Iya. Kamu siapa? Maaf, aku benar-benar tidak mengingat kamu.”
            “Aku Andika Pramudya, kita memang tidak pernah berada dalam satu sekolah yang sama. Tapi aku pernah mengenalmu saat seleksi olimpiade matematika beberapa tahun lalu. Apakah kamu masih mengenalku?”
            “Iya. Aku masih ingat. Kamu yang menabrakku di depan gerbang SMA Kartika? Mana mungkin aku lupa kejadian itu. Sekarang kamu berubah ya?”
            “Aku jadi malu. Maaf atas kejadian waktu itu. Aku tidak sengaja. Teman-temanku yang mendorong ketika sedang berjalan dan aku tidak tahu ada orang disana. Sekarang aku tambah kurus. Banyak yang aku fikirkan” jelas Dika sambil tersenyum.
            “Pantas saja, sampai-sampai aku tidak mengenalimu tadi. Sekarang kamu kuliah dimana? Aku ambil jurusan kimia di salah satu PTN di Bandung. Aku sedang menghabiskan masa liburan disini.”
            “Kimia? Sudah berapa banyak zat yang kamu larutkan supaya tidak jenuh? Aku juga kuliah di Bandung, kita satu almamater. Aku jurusan teknik. Karena berbeda lokasi, jadi mana mungkin kita bisa bertemu seperti saat ini.”
            “Sudah tak terhitung itu. Kita sudah lama tak bertemu, kenapa kamu masih mengenalku?” tanya Diandra.
            “Aku melihat gantungan kunci yang terpasang di tasmu sama persis seperti yang aku lihat beberapa tahun lalu.”
            “Oo.. hujannya sudah mulai reda, aku pulang duluan ya? Ayah sudah menungguku. Sampai jumpa lagi Dika” sapa Diandra sambil melambaikan tangannya.
            “Tunggu ra, rumah kamu masih di Taman Anggrek?” teriak Dika.
            “Iya” jawab Diandra samar-samar.
            Suatu sore, saat aku hendak mengembalikan buku ke kosan Dika, aku melihat ada seorang gadis yang sedang mengobrol serius dengan Dika. Aku mengurungkan  niat untuk mengembalikan buku itu. Pikiranku jauh melayang dan berfikir yang macam-macam. Aku mencoba menghubungi teman sekelasku yang kos bersamanya.
            “Assalamualaikum. Alvin, ini Dian. Kamu sedang bersama Dika?” tanya Diandra.
            “Wa’alaikumsalam. Aku sedang ada di kamar. Dika sedang mengobrol bersama Fiona. Ada apa, Ra?”
            “Aku mau mengembalikan buku punya Dika, karena dia sedang sibuk, aku pulang lagi ke kosan. Handphone aku baru ganti dan tidak ada nomor kontak dia. Tolong sampaikan kalau tadi aku hendak menemuinya” papar Diandra.
            “Baiklah. Nanti aku sampaikan.”
            “Terima kasih, Vin. Assalamualaikum.”
            “Sama-sama. Wa’alaikumsalam.”
            Aku tidak berani bertanya lebih jauh mengenai Fiona. Tak lama setelah aku menelepon Alvin, tiba-tiba handphoneku berdering. Nomornya begitu asing. Aku coba mengangkatnya. Siapa tahu telepon yang penting.
            “Assalamualaikum... ini dengan siapa?” tanya Diandra.
            “Wa’alaikumsalam. Ini aku Ra, Dika. Tadi kamu ke kosan aku? Kenapa ngga jadi? Aku dapat kabar dari Alvin.”
            “Dika? Maaf ya, nomor kamu ada di handphoneku yang lama. Awalnya aku berniat mengembalikan buku punyamu yang tempo hari aku pinjam. Tapi melihat kamu seperti sedang sibuk, aku memutuskan untuk pulang kembali.”
            “Oh, itu toh alasannya. Tadi aku sedang berdiskusi bersama Fiona. Dia teman SMA ku. Dia sedang menjelaskan tugas kuliah kami. Kapan-kapan aku kenalkan dia kepadamu” papar Dika.
            “Bagaimana kalau besok siang kita bertemu di kantin? Untuk mengembalikan buku kamu?” tanya Diandra.
            “Boleh.”
            “Assalamualaikum...” ucap Diandra.
            “Wa’alaikumsalam.”
            Selesai perkuliahan, aku bergegas menuju kantin. Aku sudah menunggu Dika selama 15 menit. Hatiku semakin gusar mengapa dia tidak kunjung datang. Tak berapa lama Dika datang bersama Fiona.
            “Hai... maaf sudah  membuatmu lama menunggu. Ini yang aku janjikan kemarin. Fiona, ini teman lamaku, namanya Diandra” ucap Dika.
            “Iya, tidak apa-apa. Aku Diandra. Senang berkenalan denganmu” kata Diandra sambil bersalamana dengan Fiona.
            “Ka, ini bukunya. Terima kasih. Aku langsung pulang. Assalamualaikum.”
            “Sama-sama. Kenapa tidak makan dulu dengan kita? tanya Dika.
            “Tidak, terima kasih.”
            “Hati-hati di jalan. Wa’alaikumsalam” ucap Dika.
            Aku memang sengaja menolak ajakan makan siang bersama mereka karena hari ini aku sedang shaum. Aku melihat perubahan dari Dika. Dia lebih rajin beribadah. Ataukah ini hanya perasaanku saja?. Aku pernah mendengar dari Alvin kalau Dika mengagumiku. Mendengar hal itu, pipiku merona merah. Tak bisa aku pungkiri kalau aku juga sudah lama mengaguminya.
            Suatu sore di bulan Mei, tiba-tiba Dika meneleponku dan mengajakku bertemu di taman kampus. Kebetulan aku sedang berada disana bersama teman-temanku. Aku menunggunya datang. Sama seperti pertemuan sebelumnya, dia masih saja terlambat. Aku menunggunya hampir setengah jam. Dia datang menghampiriku dengan wajah yang ceria dengan senyumnya yang khas.
            “Kamu kemana saja? Hampir aku pulang ke rumah. Kamu masih saja seperti ini, datang terlambat terus” kata Diandra.
            “Tadi aku ngumpulin tugas dulu. Kamu sudah makan?” tanya Dika.
            “Pantas saja lama. Baru saja aku selesai makan. Sebenarnya ada hal apa kamu mengajakku kemari?”.
            “Ehmm... aku juga bingung mau mulainya dari mana” jawab Dika.
            “Bingung kenapa? Coba katakan! Aku akan mendengarnya” kata Diandra.
            “Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Tapi agak serius” ucap Dika sambil gemetaran.
            “Mau ngomong apa?” tanya Diandra
            “Aduh... ko jadi grogi gini ya?” ucap Dika.
            “Ehem..ehem” kata teman-teman disamping mereka.
            “Kamu mau ngomong apa?” tanyaku untuk kedua kalinya.
            “Ehm... sebenarnya dari sekian banyak wanita yang aku temui, baru kali ini aku bertemu dengan seorang wanita yang sangat luar bisa. Dan saya pikir, wanita itu cocok untuk menjadi pendampingku kelak. Kamu tahu tidak wanita itu siapa?” tanya Dika.
“Tidak tahu. Memangnya kenapa?”
“Iya, wanita itu kamu” jawab Dika.
Aku hanya terdiam. Batinku bergemuruh ketika mendengar ucapannya. Namun entah kenapa bibirku berucap begitu saja.
“Boleh saja. Aku siap menjadi pendampingmu. Tapi yang aku harapkan bukan sebatas hubungan yang main-main melainkan hubungan yang sangat serius yaitu sebuah pernikahan. Apakah kamu siap bila kita langsung menikah?” tanya Diandra.
“Iya, aku siap” jawabnya sambil mengulum senyum.
Setelah itu aku langsung pulang ke rumah untuk menemui Ayah dan Ibu. Aku akan menceritakan semua perasaan bahagiaku ini pada mereka. Semoga Ayah dan ibu juga ikut bahagia dengan keputusan yang aku ambil. Di ruang keluarga, aku memberanikan diri untuk bercerita. Sudah lama sekali aku tidak bercerita kepada Ayah dan ibu karena selalu saja diganggu kak Dani.
“Diandra mau cerita sama Ibu juga Ayah. Kak Dani jangan ganggu ya?” ucap Diandra.
            “Mau cerita apa sih? Sampai-sampai kaka harus diam. Kakak dengerin ya?”
            “Jangan banyak komentar aja.”
            “Mau cerita apa, sayang?” tanya Ibu.
            “Bu, aku mau menikah. Aku sudah dilamar sama seseorang. Dia teman lamaku. Sekarang dia satu kampus denganku. Namanya Dika. Menurut Ayah sama Ibu bagaimana?” tanya Diandra.
            “Menikah? Kamu serius? Yang benar saja” tanya Kak Dani yang tampak kaget.
            “Apa yang kamu katakan tadi sudah dipikirkan dengan baik?” tanya Ibu.
            “Iya. Aku serius ingin menikah. Sudah aku pikirkan, Bu” jelas Diandra.
            “Kenapa kamu tidak mengatakan ini sebelumnya kepada Ayah atau Ibu? Ayah tidak setuju kamu menikah” kata Ayah yang terlihat marah.
            “Pasti kamu tidak berpikir jernih saat itu. Ibu tahu siapa kamu. Kamu memutuskan itu secara sepihak, nak. Jadi ibu mohon kamu memikirkannya kembali” kata Ibu.
            “Aku setuju dengan yang Ibu katakan” sambung Kak Dani.
            “Ayah, Ibu, Kakak, aku minta maaf. Aku akan memikirkannya kembali” jawab Diandra yang tertunduk lesu.
            Aku langsung masuk ke dalam kamar. Aku mengunci pintu rapat-rapat. Semalaman aku merenung dan menyesali semua ini. Apa yang Ayah, Ibu dan Kakak katakan memang benar. Aku salah karena tidak membicarakan semua ini dari awal kepada mereka. Ya Allah .... izinkanlah aku mengangis. Sungguh aku tidak bisa meneteskan air mata kesedihan ini. Aku harus berkata apa kepada Dika.
            Di kampus, aku menghindar untuk bertemu dengan Dika. Aku selalu beralasan bila dia mengajakku bertemu. Sungguh aku masih bingung harus berkata apa padanya. Dika semakin bingung dengan perubahan yang tiba-tiba diperlihatkanku. Sampai akhirnya dia menemuiku saat keluar dari laboratorium.
            “Ra, tunggu sebentar” ucap Dika.
            “Aku sibuk, Ka. Tolong jangan ganggu aku!” kata Diandra.
            “Kenapa kamu jadi berubah seperti ini? Apakah aku salah terhadapmu?” tanya Dika.
            “Ka, sebenarnya kedua orang tuaku tidak menyetujui mengenai rencana kita untuk menikah” jawabku dengan wajah yang lesu.
            “Memangnya kenapa?”
            “Orang tuaku menginginkan aku untuk lulus kuliah dulu. Apakah kamu siap untuk menungguku sampai wisuda nanti?” tanyaku.
            “Baiklah kalau itu yang kamu inginkan. Aku bersedia untuk menunggumu" jawabnya tegas.
            Enam bulan sudah aku memegang komitmennya itu. Hingga suatu sore aku mendengar cerita dari Alvin kalau sekarang Dika sedang dekat dengan Fiona. Ternyata apa yang dikhawatirkan kakakku selama ini memang benar. Dia bukanlah pria yang cocok untuk mendampingiku. Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah membukakan hatiku.
            Tiba-tiba handphoneku berdering. Aku melihat dilayar handphone kalau Dika yang menelepon. Aku membiarkannya sejenak. Apalagi yang akan dia katakan padaku?. Terpaksa aku mengangkat telepon darinya.
            “Assalamualaikum...” kata Dika.
            “Wa’alaikumsalam. Ada apa kamu menelepon aku malam-malam?” tanyaku.
            “Ra, maafkan aku. Aku tidak bisa menunggumu lagi.”
            “Aku sudah mendengarnya dari Alvin. Aku doakan semoga kamu bahagia bersama Fiona. Kenapa kamu harus minta maaf? Kita sudah tidak ada ikatan apa-apa.”
            “Maafkan aku telah menyakitimu. Terima kasih telah mewarnai lembaran indah dalam hidupku. Assalamualaikum” kata Dika sambil menutup telepon.
            “Wa’alaikumsalam.”
            Ini merupakan pelajaran berharga untukku. Aku telah berjanji pada diriku sendiri, Ayah, Ibu dan Kakakku kalau aku akan menurut pada mereka. Semua yang akan aku putuskan harus benar-benar matang dan bukanlah keputusan yang sesaat. Satu bulan lagi, masa kuliahku berakhir. Warna-warni indah telah terukir disana. Empat tahun sudah aku menempuh kuliah di jurusan kimia. Sungguh aku tak menyangka bahwa namaku disebut sebagai mahasiswa dengan perolehan IPK terbaik di jurusan. Keluargaku menangis terharu, begitu pula denganku. Ini merupakan hadiah yang Allah berikan untukku. Aku dapat bangkit dari keterpurukan karena masalahku yang lalu. Kini aku bangkit dan meraih sukses.
            Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu ingin berbicara denganku. Aku juga tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan. Dari raut wajah Ayah, sepertinya ini pembicaraan yang begitu serius. Setelah berganti pakaian, aku langsung duduk di ruang keluarga. Aku siap mendengar apa yang akan Ayah katakan. Rasanya seperti saat aku menjalani sidang skripsi beberapa bulan lalu.
            “Diandra sudah siap. Ayah mau membicarakan apa? Sepertinya serius sekali?” tanyaku pada Ayah.
            “Ayah masih memikirkan ucapanmu beberapa bulan yang lalu mengenai pernikahan. Apakah kamu masih ingat?”
            “Tentu saja masih ingat. Memangnya kenapa, yah?”
            “Apakah kamu masih berhubungan dengan Dika?” tanya Ibu.
            “Aku sudah lama memutuskan hubungan dengannya. Dan sekarang dia sudah bertunangan dengan Fiona.”
            “Maafkan Ibu dan Ayah, sayang?”
            “Ibu dan Ayah tidak perlu meminta maaf. Justru Diandra yang berterima kasih kepada Ayah dan Ibu, karena telah membukakan pikiran dan hati Diandra. Diandra akan menurut terhadap Ayah dan Ibu. Diandra tidak mau menjadi anak yang durhaka kepada orang tua” papar Diandra sambil menangis.
            “Jangan menangis, sayang” kata Ibu dengan menghapus air mataku.
            “Sebenarnya, Ayah dan Ibu berniat mengenalkanmu dengan seorang pria. Menurut Ayah, dia cocok untuk jadi pendampingmu. Dia anak teman Ayah, sekarang dia sudah bekerja di salah satu perusahaan milik negara. Besok dia akan kemari bersama dengan keluarganya” papar Ayah.
            “Kenapa begitu mendadak?” tanyaku pada Ayah.
            “Rencana ini sudah lama dibicarakan. Tapi kamu yang terampau sibuk dan tidak menghiraukannya. Apakah kamu bersedia?” tanya Ayah kembali padaku.
            “Iya, Ayah. Besok aku akan menemuinya.”
            Malam ini aku berdoa kepada Allah semoga ini jalan terbaik yang telah Engkau pilihkan untukku. Aku tidak ingi mengecewakan kedua orang tuaku. Sudah saatnya aku membahagiakan mereka sebagai baktiku karena telah membesarkanku seperti sekarang.
            Saat keluarga Om Handoyo tiba, aku tidak melihat anak yang hendak Ayah kenalkan padaku. Aku berjalan menuju ruang tamu membawakan makanan dan minuman untuk keluarga Om Handoyo. Aku tidak langsung duduk bersama mereka. Tapi aku berjalan menuju halaman untuk menghirup udara. Tiba-tiba saja, Ayah memanggilku.
            “Diandra... masuk, sayang”.
            “Iya, Ayah. Diandra masuk sekarang. Ada apa, yah?” tanyaku.
            “Sayang, ini anaknya Om Handoyo yang Ayah ceritakan kemarin. Namanya Ardian Y Wibowo. Kalau tidak salah dia satu jurusan sama kamu. Mungkin kamu mengenalnya. Dian, ini anak Om, namanya Diandra. Lho nama kalian hampir sama ya? ” papar Ayah seraya mengenalkanku pada Ardian.
            “Ardian”.
            “Diandra.”
            “Selamat atas kelulusanmu kemarin” kata Ardian.
            “Terima kasih, Kak. Ternyata Kakak yang mau dikenalkan sama Ayah. Kenapa tidak dari dulu, yah?” tanyaku pada Ayah dengan tersipu malu.
            “Jadi kalian sudah saling kenal?” tanya Om Handoyo.
            “Sudah, Pah. Jadi kapan rencana itu direalisasikan?” tanya Ardian.
            “Rencana apa? Kenapa aku tidak tahu?” tanyaku heran.
            “Rencana pernikahan kita. Bagaimana kalau akhir bulan depan, Ra?”
            “Baiklah. Karena aku tidak mau berpacaran sebelum menikah” jawabku tegas.
            Sejak hari itu, aku dan Kak Ardian mempersiapkan segala sesuatunya untuk perlengkapan pernikahan kami berdua sudah mulai dipingit dan tidak diperbolehkan untuk bertemu sampai hari pernikahan tiba. Itu tradisi Jawa yang masih dipegang di keluargaku. Hari yang aku nanti telah tiba. Sebentar lagi Ayah akan menikahkanku dengan Kak Ardian dan aku akan menjadi tanggung jawabnya. Setelah ijab kabul ini selesai, aku mulai berbakti pada suamiku. Aku menangis haru saat prosei sungkeman. Izinkan aku menangis untuk sekali ini saja.
The End