Musim
penghujan telah tiba. Awan mendung menyelimuti kota kecil di Jawa Tengah.
Semilir angin menyibakkan jilbabku dan menutupi sebagian jarak pandang.
Langkahku semakin cepat karena rintik gerimis mulai membasahi pipiku. Dan benar
dugaanku, hujan turun semakin derasnya. Aku berteduh di depan warung. Satu jam
sudah aku berteduh disini, namun hujan tak kunjung reda. Di sudut warung, aku
merasa ada seseorang yang sedang memperhatikanku. Ketika aku menengok ke
arahnya, dia sudah berada di sampingku.
“Assalamualaikum. Sepertinya aku
mengenal kamu?” tanya Dika.
“Wa’alaikumsalam. O ya? Memangnya
pernah kenal dimana ya?” tanya Diandra.
“Apakah kamu Diandra Mulya? SMA Bina
Bangsa?”
“Iya. Kamu siapa? Maaf, aku
benar-benar tidak mengingat kamu.”
“Aku Andika Pramudya, kita memang
tidak pernah berada dalam satu sekolah yang sama. Tapi aku pernah mengenalmu
saat seleksi olimpiade matematika beberapa tahun lalu. Apakah kamu masih
mengenalku?”
“Iya. Aku masih ingat. Kamu yang
menabrakku di depan gerbang SMA Kartika? Mana mungkin aku lupa kejadian itu.
Sekarang kamu berubah ya?”
“Aku jadi malu. Maaf atas kejadian
waktu itu. Aku tidak sengaja. Teman-temanku yang mendorong ketika sedang
berjalan dan aku tidak tahu ada orang disana. Sekarang aku tambah kurus. Banyak
yang aku fikirkan” jelas Dika sambil tersenyum.
“Pantas saja, sampai-sampai aku
tidak mengenalimu tadi. Sekarang kamu kuliah dimana? Aku ambil jurusan kimia di
salah satu PTN di Bandung. Aku sedang menghabiskan masa liburan disini.”
“Kimia? Sudah berapa banyak zat yang
kamu larutkan supaya tidak jenuh? Aku juga kuliah di Bandung, kita satu
almamater. Aku jurusan teknik. Karena berbeda lokasi, jadi mana mungkin kita
bisa bertemu seperti saat ini.”
“Sudah tak terhitung itu. Kita sudah
lama tak bertemu, kenapa kamu masih mengenalku?” tanya Diandra.
“Aku melihat gantungan kunci yang
terpasang di tasmu sama persis seperti yang aku lihat beberapa tahun lalu.”
“Oo.. hujannya sudah mulai reda, aku
pulang duluan ya? Ayah sudah menungguku. Sampai jumpa lagi Dika” sapa Diandra
sambil melambaikan tangannya.
“Tunggu ra, rumah kamu masih di
Taman Anggrek?” teriak Dika.
“Iya” jawab Diandra samar-samar.
Suatu sore, saat aku hendak
mengembalikan buku ke kosan Dika, aku melihat ada seorang gadis yang sedang
mengobrol serius dengan Dika. Aku mengurungkan niat untuk mengembalikan buku itu. Pikiranku
jauh melayang dan berfikir yang macam-macam. Aku mencoba menghubungi teman
sekelasku yang kos bersamanya.
“Assalamualaikum. Alvin, ini Dian.
Kamu sedang bersama Dika?” tanya Diandra.
“Wa’alaikumsalam. Aku sedang ada di
kamar. Dika sedang mengobrol bersama Fiona. Ada apa, Ra?”
“Aku mau mengembalikan buku punya
Dika, karena dia sedang sibuk, aku pulang lagi ke kosan. Handphone aku baru
ganti dan tidak ada nomor kontak dia. Tolong sampaikan kalau tadi aku hendak
menemuinya” papar Diandra.
“Baiklah. Nanti aku sampaikan.”
“Terima kasih, Vin.
Assalamualaikum.”
“Sama-sama. Wa’alaikumsalam.”
Aku tidak berani bertanya lebih jauh
mengenai Fiona. Tak lama setelah aku menelepon Alvin, tiba-tiba handphoneku
berdering. Nomornya begitu asing. Aku coba mengangkatnya. Siapa tahu telepon
yang penting.
“Assalamualaikum... ini dengan
siapa?” tanya Diandra.
“Wa’alaikumsalam. Ini aku Ra, Dika.
Tadi kamu ke kosan aku? Kenapa ngga jadi? Aku dapat kabar dari Alvin.”
“Dika? Maaf ya, nomor kamu ada di
handphoneku yang lama. Awalnya aku berniat mengembalikan buku punyamu yang
tempo hari aku pinjam. Tapi melihat kamu seperti sedang sibuk, aku memutuskan
untuk pulang kembali.”
“Oh, itu toh alasannya. Tadi aku
sedang berdiskusi bersama Fiona. Dia teman SMA ku. Dia sedang menjelaskan tugas
kuliah kami. Kapan-kapan aku kenalkan dia kepadamu” papar Dika.
“Bagaimana kalau besok siang kita
bertemu di kantin? Untuk mengembalikan buku kamu?” tanya Diandra.
“Boleh.”
“Assalamualaikum...” ucap Diandra.
“Wa’alaikumsalam.”
Selesai perkuliahan, aku bergegas
menuju kantin. Aku sudah menunggu Dika selama 15 menit. Hatiku semakin gusar
mengapa dia tidak kunjung datang. Tak berapa lama Dika datang bersama Fiona.
“Hai... maaf sudah membuatmu lama menunggu. Ini yang aku janjikan
kemarin. Fiona, ini teman lamaku, namanya Diandra” ucap Dika.
“Iya, tidak apa-apa. Aku Diandra.
Senang berkenalan denganmu” kata Diandra sambil bersalamana dengan Fiona.
“Ka, ini bukunya. Terima kasih. Aku
langsung pulang. Assalamualaikum.”
“Sama-sama. Kenapa tidak makan dulu
dengan kita? tanya Dika.
“Tidak, terima kasih.”
“Hati-hati di jalan. Wa’alaikumsalam”
ucap Dika.
Aku memang sengaja menolak ajakan
makan siang bersama mereka karena hari ini aku sedang shaum. Aku melihat
perubahan dari Dika. Dia lebih rajin beribadah. Ataukah ini hanya perasaanku
saja?. Aku pernah mendengar dari Alvin kalau Dika mengagumiku. Mendengar hal
itu, pipiku merona merah. Tak bisa aku pungkiri kalau aku juga sudah lama mengaguminya.
Suatu sore di bulan Mei, tiba-tiba
Dika meneleponku dan mengajakku bertemu di taman kampus. Kebetulan aku sedang
berada disana bersama teman-temanku. Aku menunggunya datang. Sama seperti
pertemuan sebelumnya, dia masih saja terlambat. Aku menunggunya hampir setengah
jam. Dia datang menghampiriku dengan wajah yang ceria dengan senyumnya yang
khas.
“Kamu kemana saja? Hampir aku pulang
ke rumah. Kamu masih saja seperti ini, datang terlambat terus” kata Diandra.
“Tadi aku ngumpulin tugas dulu. Kamu
sudah makan?” tanya Dika.
“Pantas saja lama. Baru saja aku
selesai makan. Sebenarnya ada hal apa kamu mengajakku kemari?”.
“Ehmm... aku juga bingung mau
mulainya dari mana” jawab Dika.
“Bingung kenapa? Coba katakan! Aku
akan mendengarnya” kata Diandra.
“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.
Tapi agak serius” ucap Dika sambil gemetaran.
“Mau ngomong apa?” tanya Diandra
“Aduh... ko jadi grogi gini ya?”
ucap Dika.
“Ehem..ehem” kata teman-teman
disamping mereka.
“Kamu mau ngomong apa?” tanyaku
untuk kedua kalinya.
“Ehm... sebenarnya dari sekian
banyak wanita yang aku temui, baru kali ini aku bertemu dengan seorang wanita
yang sangat luar bisa. Dan saya pikir, wanita itu cocok untuk menjadi
pendampingku kelak. Kamu tahu tidak wanita itu siapa?” tanya Dika.
“Tidak
tahu. Memangnya kenapa?”
“Iya,
wanita itu kamu” jawab Dika.
Aku
hanya terdiam. Batinku bergemuruh ketika mendengar ucapannya. Namun entah
kenapa bibirku berucap begitu saja.
“Boleh
saja. Aku siap menjadi pendampingmu. Tapi yang aku harapkan bukan sebatas
hubungan yang main-main melainkan hubungan yang sangat serius yaitu sebuah
pernikahan. Apakah kamu siap bila kita langsung menikah?” tanya Diandra.
“Iya,
aku siap” jawabnya sambil mengulum senyum.
Setelah
itu aku langsung pulang ke rumah untuk menemui Ayah dan Ibu. Aku akan
menceritakan semua perasaan bahagiaku ini pada mereka. Semoga Ayah dan ibu juga
ikut bahagia dengan keputusan yang aku ambil. Di ruang keluarga, aku memberanikan
diri untuk bercerita. Sudah lama sekali aku tidak bercerita kepada Ayah dan ibu
karena selalu saja diganggu kak Dani.
“Diandra
mau cerita sama Ibu juga Ayah. Kak Dani jangan ganggu ya?” ucap Diandra.
“Mau cerita apa sih? Sampai-sampai
kaka harus diam. Kakak dengerin ya?”
“Jangan banyak komentar aja.”
“Mau cerita apa, sayang?” tanya Ibu.
“Bu, aku mau menikah. Aku sudah
dilamar sama seseorang. Dia teman lamaku. Sekarang dia satu kampus denganku.
Namanya Dika. Menurut Ayah sama Ibu bagaimana?” tanya Diandra.
“Menikah? Kamu serius? Yang benar
saja” tanya Kak Dani yang tampak kaget.
“Apa yang kamu katakan tadi sudah
dipikirkan dengan baik?” tanya Ibu.
“Iya. Aku serius ingin menikah.
Sudah aku pikirkan, Bu” jelas Diandra.
“Kenapa kamu tidak mengatakan ini
sebelumnya kepada Ayah atau Ibu? Ayah tidak setuju kamu menikah” kata Ayah yang
terlihat marah.
“Pasti kamu tidak berpikir jernih
saat itu. Ibu tahu siapa kamu. Kamu memutuskan itu secara sepihak, nak. Jadi
ibu mohon kamu memikirkannya kembali” kata Ibu.
“Aku setuju dengan yang Ibu katakan”
sambung Kak Dani.
“Ayah, Ibu, Kakak, aku minta maaf.
Aku akan memikirkannya kembali” jawab Diandra yang tertunduk lesu.
Aku langsung masuk ke dalam kamar.
Aku mengunci pintu rapat-rapat. Semalaman aku merenung dan menyesali semua ini.
Apa yang Ayah, Ibu dan Kakak katakan memang benar. Aku salah karena tidak
membicarakan semua ini dari awal kepada mereka. Ya Allah .... izinkanlah aku
mengangis. Sungguh aku tidak bisa meneteskan air mata kesedihan ini. Aku harus berkata
apa kepada Dika.
Di kampus, aku menghindar untuk
bertemu dengan Dika. Aku selalu beralasan bila dia mengajakku bertemu. Sungguh
aku masih bingung harus berkata apa padanya. Dika semakin bingung dengan
perubahan yang tiba-tiba diperlihatkanku. Sampai akhirnya dia menemuiku saat
keluar dari laboratorium.
“Ra, tunggu sebentar” ucap Dika.
“Aku sibuk, Ka. Tolong jangan ganggu
aku!” kata Diandra.
“Kenapa kamu jadi berubah seperti
ini? Apakah aku salah terhadapmu?” tanya Dika.
“Ka, sebenarnya kedua orang tuaku
tidak menyetujui mengenai rencana kita untuk menikah” jawabku dengan wajah yang
lesu.
“Memangnya kenapa?”
“Orang tuaku menginginkan aku untuk
lulus kuliah dulu. Apakah kamu siap untuk menungguku sampai wisuda nanti?”
tanyaku.
“Baiklah kalau itu yang kamu
inginkan. Aku bersedia untuk menunggumu" jawabnya tegas.
Enam bulan sudah aku memegang
komitmennya itu. Hingga suatu sore aku mendengar cerita dari Alvin kalau
sekarang Dika sedang dekat dengan Fiona. Ternyata apa yang dikhawatirkan kakakku
selama ini memang benar. Dia bukanlah pria yang cocok untuk mendampingiku.
Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah membukakan hatiku.
Tiba-tiba handphoneku berdering. Aku
melihat dilayar handphone kalau Dika yang menelepon. Aku membiarkannya sejenak.
Apalagi yang akan dia katakan padaku?. Terpaksa aku mengangkat telepon darinya.
“Assalamualaikum...” kata Dika.
“Wa’alaikumsalam. Ada apa kamu
menelepon aku malam-malam?” tanyaku.
“Ra, maafkan aku. Aku tidak bisa
menunggumu lagi.”
“Aku sudah mendengarnya dari Alvin.
Aku doakan semoga kamu bahagia bersama Fiona. Kenapa kamu harus minta maaf?
Kita sudah tidak ada ikatan apa-apa.”
“Maafkan aku telah menyakitimu.
Terima kasih telah mewarnai lembaran indah dalam hidupku. Assalamualaikum” kata
Dika sambil menutup telepon.
“Wa’alaikumsalam.”
Ini merupakan pelajaran berharga
untukku. Aku telah berjanji pada diriku sendiri, Ayah, Ibu dan Kakakku kalau
aku akan menurut pada mereka. Semua yang akan aku putuskan harus benar-benar
matang dan bukanlah keputusan yang sesaat. Satu bulan lagi, masa kuliahku
berakhir. Warna-warni indah telah terukir disana. Empat tahun sudah aku
menempuh kuliah di jurusan kimia. Sungguh aku tak menyangka bahwa namaku
disebut sebagai mahasiswa dengan perolehan IPK terbaik di jurusan. Keluargaku
menangis terharu, begitu pula denganku. Ini merupakan hadiah yang Allah berikan
untukku. Aku dapat bangkit dari keterpurukan karena masalahku yang lalu. Kini
aku bangkit dan meraih sukses.
Sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu
ingin berbicara denganku. Aku juga tidak tahu apa yang akan mereka bicarakan.
Dari raut wajah Ayah, sepertinya ini pembicaraan yang begitu serius. Setelah
berganti pakaian, aku langsung duduk di ruang keluarga. Aku siap mendengar apa
yang akan Ayah katakan. Rasanya seperti saat aku menjalani sidang skripsi
beberapa bulan lalu.
“Diandra sudah siap. Ayah mau
membicarakan apa? Sepertinya serius sekali?” tanyaku pada Ayah.
“Ayah masih memikirkan ucapanmu
beberapa bulan yang lalu mengenai pernikahan. Apakah kamu masih ingat?”
“Tentu saja masih ingat. Memangnya
kenapa, yah?”
“Apakah kamu masih berhubungan
dengan Dika?” tanya Ibu.
“Aku sudah lama memutuskan hubungan
dengannya. Dan sekarang dia sudah bertunangan dengan Fiona.”
“Maafkan Ibu dan Ayah, sayang?”
“Ibu dan Ayah tidak perlu meminta
maaf. Justru Diandra yang berterima kasih kepada Ayah dan Ibu, karena telah
membukakan pikiran dan hati Diandra. Diandra akan menurut terhadap Ayah dan
Ibu. Diandra tidak mau menjadi anak yang durhaka kepada orang tua” papar
Diandra sambil menangis.
“Jangan menangis, sayang” kata Ibu
dengan menghapus air mataku.
“Sebenarnya, Ayah dan Ibu berniat
mengenalkanmu dengan seorang pria. Menurut Ayah, dia cocok untuk jadi
pendampingmu. Dia anak teman Ayah, sekarang dia sudah bekerja di salah satu
perusahaan milik negara. Besok dia akan kemari bersama dengan keluarganya”
papar Ayah.
“Kenapa begitu mendadak?” tanyaku
pada Ayah.
“Rencana ini sudah lama dibicarakan.
Tapi kamu yang terampau sibuk dan tidak menghiraukannya. Apakah kamu bersedia?”
tanya Ayah kembali padaku.
“Iya, Ayah. Besok aku akan
menemuinya.”
Malam ini aku berdoa kepada Allah
semoga ini jalan terbaik yang telah Engkau pilihkan untukku. Aku tidak ingi
mengecewakan kedua orang tuaku. Sudah saatnya aku membahagiakan mereka sebagai
baktiku karena telah membesarkanku seperti sekarang.
Saat keluarga Om Handoyo tiba, aku
tidak melihat anak yang hendak Ayah kenalkan padaku. Aku berjalan menuju ruang
tamu membawakan makanan dan minuman untuk keluarga Om Handoyo. Aku tidak
langsung duduk bersama mereka. Tapi aku berjalan menuju halaman untuk menghirup
udara. Tiba-tiba saja, Ayah memanggilku.
“Diandra... masuk, sayang”.
“Iya, Ayah. Diandra masuk sekarang.
Ada apa, yah?” tanyaku.
“Sayang, ini anaknya Om Handoyo yang
Ayah ceritakan kemarin. Namanya Ardian Y Wibowo. Kalau tidak salah dia satu
jurusan sama kamu. Mungkin kamu mengenalnya. Dian, ini anak Om, namanya
Diandra. Lho nama kalian hampir sama ya? ” papar Ayah seraya mengenalkanku pada
Ardian.
“Ardian”.
“Diandra.”
“Selamat atas kelulusanmu kemarin”
kata Ardian.
“Terima kasih, Kak. Ternyata Kakak
yang mau dikenalkan sama Ayah. Kenapa tidak dari dulu, yah?” tanyaku pada Ayah
dengan tersipu malu.
“Jadi kalian sudah saling kenal?”
tanya Om Handoyo.
“Sudah, Pah. Jadi kapan rencana itu
direalisasikan?” tanya Ardian.
“Rencana apa? Kenapa aku tidak
tahu?” tanyaku heran.
“Rencana pernikahan kita. Bagaimana
kalau akhir bulan depan, Ra?”
“Baiklah. Karena aku tidak mau
berpacaran sebelum menikah” jawabku tegas.
Sejak hari itu, aku dan Kak Ardian
mempersiapkan segala sesuatunya untuk perlengkapan pernikahan kami berdua sudah
mulai dipingit dan tidak diperbolehkan untuk bertemu sampai hari pernikahan
tiba. Itu tradisi Jawa yang masih dipegang di keluargaku. Hari yang aku nanti
telah tiba. Sebentar lagi Ayah akan menikahkanku dengan Kak Ardian dan aku akan
menjadi tanggung jawabnya. Setelah ijab kabul ini selesai, aku mulai berbakti
pada suamiku. Aku menangis haru saat prosei sungkeman. Izinkan aku menangis
untuk sekali ini saja.
The
End